Yessi (cerpen)



By. Gusty P.

Hampir lewat tengah hari. Matahari kelihatan tak seceria kemarin. Awan sesekali menutup pandangannya. Menghalangi sinarnya yang menerangi wilayah Galilea dan sekitarnya. Awan hitam itu berarak-arak menuju barat. Berhenti tepat di pucuk Gunung Karmel. Ia menanti uap-uap air Laut Tengah yang sejak pagi dipanggang mentari. Kemudian meminta restu senja dan angin Tenggara, sebelum menumpahkan titik-titik air ke bumi, menyirami Galilea, Samaria, Yudea, hingga Idumea. Hujan agak lebat.
Entah sejak kapan aku telah bersahabat dengan hujan, malam yang dingin, kesunyian, kambing domba, bahkan bertaruh nyawa dengan binatang buas di padang. Aku sangat menikmati pekerjaan ini. Menjadi seorang gembala membuatku bangga karena saudaraku dan teman-temannya pernah menyaksikan sebuah peristiwa penting selama menggembalakan kambing- domba di padang. Dulu, ketika keluargaku menetap di Betlehem, para gembara—saudaraku dan teman-temannya-- menjadi saksi kunci peristiwa itu. Kini saudara tuaku telah pergi, mewariskan tugas terhormat, menggantikannya  untuk menjadi seorang gembala. 
***
Hari ini aku kembali ke Nazaret, mengunjungi orang tua dan saudara-saudaraku. Di ujung kampung, beberapa anak bergerombol. Sepertinya sedang terjadi perkelahian. Dua di antara bocah-bocah itu tak berhenti berkata-kata. Membela diri, bahkan sesekali saling memegang kerah baju temannya. Di samping mereka, berdiri seorang bocah lain dengan kepala berdarah. Dia mengusap-usap kepalanya sambil berusaha menenangkan dua temannya yang tak pernah diam. Rupanya dia berusaha menjadi penengah, tapi justru menjadi korban pertengkaran itu.
Seorang bocah lain yang tengah berjalan memikul sebuah kursi kayu berhenti. Mendatangi kerumunan itu.  Suasana sejenak hening ketika  ia mendekati mereka. Bocah itu memegang kepala temannya yang berdarah. Arya dan Raine diajaknya berdamai. Kakak beradik itu merangkul dan saling meminta maaf. Kerumunan yang semula mencekam karena perkelahian itu, kini berakhir dengan canda tawa yang akrab. “Ahh….dasar anak-anak”, celetukku. Kuacuhkan anak-anak itu. Aku bergegas ke rumah. Segera ingin bertemu keluarga yang selalu kurindukan. Aku yakin mereka juga merindukanku, seperti aku merindukan mereka.
Seperti biasa, ayah dan ibu bahagia ketika aku pulang ke rumah. Mereka bercerita banyak hal tentang situasi terakhir kampungku. Banyak hal menarik yang terjadi. Terutama cerita seputar seorang remaja yang dikenal baik, ramah, santun dan pandai memperbaiki berbagai perabot rumah tangga yang rusak. Ia sangat dikagumi banyak orang walaupun ada orang juga  yang tidak suka dengannya. Banyak yang mengejeknya, apalagi ia dikandung sebelum ibunya resmi menjadi istri ayahnya. Namun, tak pernah ia sakit hati. Ia tetap menjaga senyumnya, dan mengajak teman-temannya untuk  bermain bersama. Bahkan ia menjadi pujaan gadis-gadis remaja di Nazaret, termasuk Avera tetangga rumahku, gadis yang sedang dalam masa akil balik.
“Untuk anak seusianya, ia sangat cerdas. Pemahamannya tentang taurat sangat mendalam. Dia anak yang hebat dan belum pernah ada anak-anak sepertinya. Ia juga dikenal anak yang rajin membantu orang tuanya. Ia sudah pandai membuat perabot rumah tangga sederhana. Keluarganya hidup cukup dari hasil kerajinan ayahnya, yang sering mereka jual di pasar.” Demikian Abba menceritakan bocah itu dan keluarganya.
***
Hari ini agak cerah. Matahari kelihatan tanpa beban menyinari Nazaret. Asap mengepul perlahan dari setiap rumah, menembus atap dapur yang belum kering karena diguyur hujan sepanjang hari kemarin. Sinar pagi membelah kepulan asap, mengkilap seperti pedang yang baru selesai ditempa. Menyilaukan mata. Semua penduduk Nazaret menyambut hari itu dengan riang gembira. Bahkan binatang dan tetumbuhan berlomba-lomba memberi persembahan serta pujian kepada Sang Pengatur Waktu. Pemandangan yang mengagumkan. 
Jujur, setelah aku mendengar banyak kisah tentang anak itu, aku ingin sekali menemuinya. Aku penasaran juga sedikit kurang percaya dengan bocah itu. Namun, waktu cukup singkat. Pagi ini, aku harus balik ke padang untuk menemani hewan gembalaan yang kutinggalkan sejak kemarin. Aku menyempatkan diri ke Sinagoga untuk beribadat. Hal ini biasa kulakukan setiap kali aku pulang ke rumah.
Sinagoga adalah pusat kehidupan kami. Semuanya harus berawal dan berakhir di sana. Itulah sebabnya, orang-orang Yahudi marah besar kalau ada orang yang menghina atau bertingkah aneh di Sinagoga. Siapapun yang berani melakukan hal-hal tak senonoh di Sinagoga,  ia pasti akan dihina oleh seluruh penduduk, dikucilkan, bahkan dilempari batu hingga mati. Menghina Sinagoga berarti menghina YHWH yang tinggal di dalamnya.
Setelah berdoa, aku segera menemui imam Simen di belakang Sinagoga untuk menyerahkan persembahan. Sepertinya ia sedang sibuk melayani umat yang ingin bertanya banyak hal tentang taurat. Tetapi karena mengenalku, ia berdiri dan menyalamiku.
“Hai….Grotius selamat datang. Mari! Silakan masuk” ajaknya ramah menjemput kedatanganku.
Keramahan imam ini yang membuat aku merasa nyaman ke Sinagoga. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Sinagoga selalu ramai didatangi umat untuk berdoa. Mereka merasa sebagai umat yang dicintai, terutama karena pelayanan imam Simen yang baik dan rendah hati.
“Aku sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Kami banyak berdiskusi tentang taurat Musa yang akhir-akhir ini sering disalahartikan orang. Dia orang yang luar biasa dan aku selalu terkejut karena kecerdasannya. Pemikirannya selalu melampaui orang-orang seusianya. Bahkan beberapa hari lalu ia menghentikan demam tinggi yang diderita seorang ibu yang datang kemari. Aku tak habis pikir tentangnya” lanjut imam Simen menjelaskan.
Sepertinya aku pernah melihat bocah itu di ujung kampung kemarin.
“Yessi, ini Grotius, seorang gembala yang hebat yang sering mengalahkan singa di padang.  Dan Grotius, ini Yessi yang kuceritakan tadi” imam Simen memperkenalkan bocah itu kepadaku. Kami bersalaman. Anak itu tersenyum dan menunduk memberi hormat kepadaku.
          “Namanya Yessi. Tepatnya Yesus. Tetapi teman-teman biasa memanggilnya Yessi, Anak Tukang Kayu” serentak Yessi menoleh ke arah imam Simen. Keduanya saling menatap dan serentak tersenyum. “Ayahnya, Yoseph adalah tukang kayu yang handal. Dan  ibunya, Maria  adalah seorang wanita yang saleh” imam Simen menjelaskan asal usul bocah itu.
“Yessi, Anak Tukang Kayu”. Aku memanggilnya sambil tersenyum, kemudian merangkulnya sebelum aku berangkat ke padang. Ia balas tertawa kecil.


"Yessi, sebuah cerpen tentang Yesus masa kecil..".
 Rawa Domba, Desember 2010

"Kado Liano" (cerpen)



(Based on the true story…hehe)
By. GUSTY P.

Pertemuanku dengan Nia terjadi secara kebetulan. Saat itu, ketika sedang ada acara penerimaan anggota asrama yang baru, aku secara tak sengaja duduk berdampingan dengan gadis itu. Aku canggung ketika melihatnya, tetapi sebenarnya aku jatuh hati padanya. Dia adalah gadis yang tidak biasa bagiku. Bukan saja karena rambut panjang seperti model iklan shampoo di TV. Bukan juga karena hidung mancung dan body aduhai seperti gadis Timur Tengah yang lihai dengan tari perut yang banyak disukai pengurus negeri ini ketika studi banding ke luar negeri. Bukan kawan! Bukan karena itu saja. Aku suka padanya karena ia ramah dan santun kepada siapapun. Ia pasti gadis terdidik dan pintar merawat diri. Ia mirip ibuku di kampung. Kurang-lebih begitu.
Malam itu, aku kembali bersua dengan gadis itu. Ia datang ke biara untuk sekadar kunjungan dengan teman-temannya. Bukan main debar jantungku ketika bertemu lagi dengannya.  Kupandang sedikit malu-malu. Sesekali aku menoleh ke tempat lain, ketika sesekali juga ia memandangku. ‘Pura-pura’, kata yang tepat untukku saat itu. Sepertinya gadis itu tahu aku sedang memandangnya. Aku duduk di pojok dekat tiang di bawah gazebo yang terletak di tengah biara.  Gazebo yang menjadi tempat kami berkreasi dan berbagi cerita dengan teman-temanku. Tempat kami bersenandung lagu apapun untuk menghibur diri. Dari tembang “Kelambu Biru” Meggi Z hingga “Waka-Waka”, lagu piala dunia 2010 yang dilantunkan Shakira. Tempat kami berteriak sekeras-kerasnya karena di tempat lain kami harus ber-silentium. Tempat ini seperti arena balas dendam. Gazebo ini salah satu nadi hidup kami.
          Aku kembali memandangnya. Sempurna. Ini tipeku. Nadiku bergemuruh. Menyatu dengan sebuah perasaan yang aneh, yang sulit kujelaskan dengan bahasa manapun. Aku berniat mengenalnya lebih jauh, tapi aku belum terbiasa. Empat tahun di seminari membuatku kikuk berbicara dengan perempuan. Apalagi dia ini istimewa. Beda. Mengagumkan dan mengoyak hatiku. Tiba-tiba ia berdiri, sebentar merapikan t-shirt bertulis ‘love’ agak ketat yang dipakainya. Aku pura-pura tak melihat, menoleh ke tiang gazebo yang tepat berada di sampingku dan menuliskan sesuatu pada tiang itu dengan jari-jemariku. Tak tahu apa yang kutulis dan tak peduli juga dengan sisik-sisik  kayu  tiang itu yang sedikit menusuk. Namun, aku berusaha menguntitnya. Ia beranjak pergi.
  “Yahh…ia sekarang pergi” gumamku kecewa.  Aku cepat menoleh, tak ingin membiarkan dia pergi begitu saja tanpa aku melihatnya. Namun aku kaget bukan kepalang. Gadis itu berdiri tepat di hadapanku. Aku diam dan gemetar. Napasku tersengal seperti baru saja dikejar anjing gila. Badanku panas-dingin, seperti orang yang terserang malaria tropika akut stadium 4. Aku tak bisa berpura-pura lagi. Wajahku pucat pasi ketika ia hendak mengatakan sesuatu. Tak tenang, bingung, tak tahu harus berbuat apa.
   “Selamat malam. Boleh saya duduk”? sambil tersenyum ia mengajakku berbicara. Aku tak menjawab. Suaranya membuatku gelagapan. Tetapi senyum dari bibirnya yang merah merekah membuatku berani.
  “Namaku Liano” aku memperkenalkan diri. Teman yang duduk di sampingku cekikikan-sinis, sambil mendekatiku, ia berbisik.
  “ Namanya keren kawan. Tapi ia tidak bermaksud berkenalan” .
Ia memberitahuku sekaligus mengejek. Wajar, karena di kampung aku biasa dipanggil Largus, “Largus Merantau” nama lengkapku. Nama yang jelek kawan. Aku gemetar dan semakin berkeringat. Gadis itu tetap tersenyum. Ia tahu maksudku.
  “Aku Nia”. Tak lama kemudian ia pamit pulang.

*****   .
          Suatu hari, ketika aku sedang asyik membaca novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata, seorang teman yang bernama Jefry mau menolongku. Ia menawarkan diri menjadi ‘jembatan’ hubungan kami.
  “Ada berita bagus kawan!” Aku tak menggubrisnya.
  “Ini tentang Nia” aku terperanjat.
  “Minggu depan, hari Senin, tanggal 7 Maret, Nia ulang tahun. Inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanmu padanya” sambungnya.
Jefry dikenal sebagai teman yang setia membantu. Pria jangkung dari ujung Sulawesi ini dikenal murah senyum dan panjang sabar. Di sekolah menengah dulu ia dikenal sebagai ‘playboy cap kampung”. Puluhan perempuan telah ditaklukannya. Jurusnya cuma satu, terus tersenyum. Maka tak ada alasan untuk  menolak tawarannya. Dialah satu-satunya teman angkatanku yang bisa diandalkan dalam masalah cinta. Apalagi masalah cinta pandangan pertama seperti yang kualami. Baginya, ini masalah kecil. Aku sangat yakin kalau aku tak salah mempercayai orang.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, Jefry mulai menawarkan beberapa ide. Ia menyuruhku menuliskan surat cinta untuk Nia dan diberikan pada saat ulang tahunnya nanti. Kemudian, ia menawarkan pilihan kedua,yaitu  segera menyatakan cintaku kepada Nia secara terbuka sebelum hari ulang tahunnya, sehingga saat Nia ulang tahun aku bisa mentraktir bakso urat yang berada tepat di depan biara. Dan ide ketiga, Jefry mengusulkan untuk membeli setangkai mawar dan aku datang sebagai tamu istimewa pada saat ulang tahunnya nanti. Kehadiranku adalah surprise untuk Nia dan mawar itu sebagai ungkapan perasaan cintaku padanya.
Semalaman mataku enggan terpejam. Terlebih karena ketiga ide ‘gila’ Jefry yang sama sekali tak menarik. Menuliskan surat cinta memang baik tetapi terlalu kuno dan kekanak-kanakan.
“Seperti ketika SMP saja” pikirku. Usul kedua sedikit romantis, tetapi mentraktir bakso urat seharga tujuh ribu rupiah sama sekali tak bergengsi. Dan ketiga, sangat romantis tetapi terlalu sinetron. Usul ini mengandaikan kalau Nia tak punya pacar. Jika tidak, tak terkira malu yang harus kutanggung.
    “Hmm.. Jefry terlalu banyak menonton Film Televisi”.
***
Setiap hari aku selalu memikirkan cara dan berusaha mencari inspirasi dari apapun yang kutemukan dalam keseharianku di biara. Makan tak makan, pikiranku cuma satu: bagaimana menaklukan hati wanita yang membuatku kelapak-kelapak seperti ayam tersayat pisau pemotong di pasar. Dari Teka-Teki Silang, kata-kata mutiara Kharil Gibran, hingga buku-buku filsafat dan teologi tak terlewatkan untuk kubaca. Bahkan Kidung Agung Salomo kubaca berulangkali. Aku yang malas membaca buku, kini sibuk seperti seorang peneliti muda yang sedang menyelesaikan desertasi doktoralnya.
          “Ahh.. ide yang cemerlang” aku memuji diriku sendiri. Akhirnya aku menemukan ide untuk mengungkapkan perasaan cintaku padanya. Bukan surat cinta yang kekanak-kanakan, bukan mentraktir bakso urat yang tak bergengsi, bukan juga dengan gaya ‘romantic love’ ala Jefry dengan sekuntum mawar. Aku akan memberikan kado dan sepucuk surat yang akan kutulisi dengan sebuah puisi yang indah.
    “Tapi, kado apa?” kubertanya pada diriku sendiri.
    “ Cokelat kawan, cokelat. Cewek  akan mengerti perasaanmu ketika engkau menghadiahinya cokelat. Aku sering melihat itu dalam film-film cinta orang Barat“ Anto, teman sekamarku mencoba memberikan usul. Sepertinya Anto tahu aku sedang bingung.
    “Wahh.. mantap To” sahutku.
Perpaduan puisi dan cokelat adalah ide yang luar biasa. Jujur kawan! Di kampung aku belum pernah sekalipun makan cokelat. Tapi tak apa, demi cinta pertamaku, demi gadis impianku. Bukan hanya itu, aku tertarik karena ia menyebut “orang Barat”. Sepertinya cukup beradab dan lebih modern kalau aku menghadiahi Nia dengan cokelat.
    “Ini soal harga diri juga” pikirku.
          Malam itu aku berusaha menulis puisi yang akan kuberikan untuk Nia. Cecak di dinding dan nyamuk yang beterbangan kupaksa bicara untuk memberi ide tentang puisiku. Namun tak ada yang menyahut. Mereka hanya terpelongo melihatku. Mungkin saja mereka ingin sekali menyebutku ‘gila’. Ya, gila karena perasaan yang tak karuan, yang tak bisa kujelaskan dengan bahasa manapun. Tetapi perasaan ini sekaligus membangkitkan semangat hidup yang selama ini terasa monoton dan membosankan. Kureka ulang peristiwa pertemuanku dengan gadis itu. Kuingin getaran pertama itu memberi nilai dan cita rasa pada puisi yang kutulis.

Ahh…Cantik

Rambutmu gerai terurai—menawan hati
Kamu tahu, kalimat ini kudapatkan dengan tak berhenti bermeditasi sejak pertama kali aku mengenalmu
Matamu biru merona—seperti mata anak kijang
Kalimat ini kudapatkan dengan susah payah—berguru pada seorang romo dan filsuf muda di tempat aku belajar
Senyum manismu—membuat anak mataku binar menatap
Inilah intisari dari semua buku yang telah kubaca selama ini
Ahh…cantik
Hanya ini warisan moyangku

          Inilah kalimat-kalimat yang kusebut puisi. Kawan! Jangan kau tanyakan puisi ini jenis apa. Jangan juga tanyakan memakai irama apa. Apapula kau tanyakan mengapa memakai catatan kaki. Satu hal yang penting bagiku adalah bahwa semua perasaan, rasa kagum,  getaran hati, dan rasa cintaku pada gadis itu sepertinya tercurah seluruhnya pada puisi ini. Kalimat kedua dalam setiap baris yang kelihatan seperti catatan kaki kutambahkan untuk lebih meyakinkan Nia bahwa aku serius jatuh cinta padanya. Malam itu aku tertidur lelap. Satu karya terindah yang akan kupersembahkan untuk seorang gadis pujaanku selesai sudah.
***
          Selepas gereja aku sempat mampir di mall terdekat untuk membeli perlengkapan kado. Aku juga mengajak Jefry.
   “Wahh.. mahal sekali” aku terperangah sambil berbisik kepada Jefry. Untuk ukuran kami harga cokelat sangat mahal. Sebungkus cokelat bisa menghabiskan lebih dari separuh uang saku.
   “Ya kawan. Tapi semua ini demi Nia. Kamu harus memberikan yang terbaik untuknya”, sahut Jefry sambil menunjukan cokelat import asal Belgia. Kali ini aku setuju dengan Jefry, aku harus memberi cokelat yang terbaik.
   “Toh.. ini cuma sekali”pikirku.
          Malam, sehari menjelang Nia ulang tahun, aku mulai meramu kado yang akan kupersembahkan untuknya. Puisi kutuliskan dengan huruf ‘tali’ yang indah pada selembar kertas surat yang sengaja diberikan  Anto. Pena ‘Boxy’ dipinjamkan Romo rektor dengan dalih untuk menulis khotbah pertamaku. Di sudut kanan bawah, aku menambahkan;

‘maaf, bila ada kata-kata yang tidak berkenan, mohon dirahasiakan.
“Pengagummu”
=Liano=

          Aiih…Sopan sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Nia ketika membaca puisinya. Coklat sebagai hadiah istimewaku ditata rapi dengan bungkusan khusus, diikat dengan pita merah dengan bagian atas dianyam mirip bunga mawar yang sedang mekar. Luar biasa. Dibagian pinggir, memanjang coklat itu, kutuliskan, “Terimalah persembahkan hatiku ini”. Puisinya diletakan tepat berada di atas bungkusan coklat dan digulung mirip surat wasiat kerajaan yang sangat rahasia. Kemudian kusemprotkan sedikit parfum ‘Napoleon’ sebelum kado itu tertutup rapat, agar ketika Nia membukanya, ia mencium harum mawar yang memikat. Jefry tersenyum, sambil  mengacungkan jempol ia memujiku;
   “Mantap kawan! Aku terharu.”
Aku ikut tersenyum.
   “ Terima kasih” balasku.
    “Tolong, jangan sampai teman-teman tahu, apalagi Romo Rektor”.  Aku tahu cinta ini berisiko. Memilih hidup menjadi biarawan Katolik tak akan pernah boleh menikah.
Sepanjang malam aku membayangkan bagaimana Nia akan menerima kado itu, membukanya, mencium harumnya mawar ‘Napoleon’. Aku membayangkan raut mukanya yang manis ketika menemukan puisi terindah tulisan tanganku, membacanya sambil tersenyum dan mencium puisi itu berulang-ulangkali dan mendekapnya di dada sambil menutup mata. Betapa girangnya Nia ketika ia tahu aku mencintainya. Aku membayangkan bagaimana ekspresi Nia ketika menemukan cokelat istimewa yang kupersembahkan padanya. Ia tak akan menghabiskan cokelat itu. Ia akan menatanya di sebuah etalase khusus di kamar tidurnya dan meletakkan puisi terindah dariku di atas cokelat itu agar setiap saat ia bisa melihatnya dan mengingat segala yang telah kuberikan padanya. Ia tak akan berpikir lama. Ia akan langsung menemuiku di biara dan akan menghabiskan banyak waktu bercerita denganku.
Hmm…belum tahu kau gadis! Pasti kau ketar-ketir dengan karya terbaikku. Ia akan terhipnotis kawan! Waah…menakjubkan cinta pertama ini. Kemudian aku terlelap dalam rengkuhan malam yang menyejukan.
          Hari ini, Senin, tanggal 7 Maret, Nia ulang tahun yang ke-19. Langit terlihat bersih pertanda tak akan turun hujan. Bahkan awan hitam yang biasa mengumpul di ufuk barat hilang tak membekas. Sepertinya cuaca menyatu dengan suasana hatiku. Jam 7 malam ini Nia akan merayakan hari ulang tahun dengan teman-temannya. Jefry telah mendapat undangan dan menjadi pengantar kado dariku. 
***
Harapan tinggal harapan. Khayalan hanya seperti mimpi siang bolong yang hanya sebentar menghibur. Tak ada tanda-tanda dan reaksi apapun. Semuanya seperti tak terjadi apa-apa. Jefry juga hanya bilang “sabar dan tunggu saja”. Sudah tiga bulan aku telah mengirimkan kado untuknya. Selama tiga bulan aku terkatung-katung menanti jawaban. Rupanya sia-sia sudah, karena  dua hari lagi kami akan berangkat ke Jakarta. Aku berharap Nia akan datang menemuiku untuk terakhir kalinya, bukan untuk memberi jawaban cinta seperti yang kuharapkan tiga bulan yang lalu. Aku hanya ingin kepastian. Aku hanya butuh respon seorang wanita yang pernah kukagumi. Namun, aku pergi tanpa jawaban. Sadis kawan!
Hatiku terus mengumpat gadis itu. Bagiku ia adalah gadis paling egois yang pernah aku temui selama hidupku. Ia cantik tapi balagu, sama sekali tidak menghormati perasaan orang lain. Ingin aku menuliskan surat lagi untuknya. Surat caci maki dan sakit hati. Namun, tak ada gunanya.
Aku berniat untuk curhat dengan Jefry, teman yang selalu membantuku selama berhubungan dengan gadis egois itu. Siang itu aku mendatangi Jefry, tetapi dia memintaku untuk datang ke kamarnya.
“Kamu duluan ke kamarku, nanti aku menyusul. Aku masih ada kerjaan” jawabnya singkat. Sudah 15 menit aku menunggunya di kamar. Untuk mengusir kejenuhan, aku melihat-lihat foto yang ditaruh agak berantakan di rak bukunya. Kutengok satu persatu. Aku terkejut, foto Nia ada di antara tumpukan itu. Aku semakin penasaran, kucoba membongkar tumpukan kertas yang ada di sampingnya. Selembar kertas jatuh dari antara kertas-kertas itu. Lembaran itu berisi ‘puisi cinta’ yang kutulis dengan susah payah. Bahkan pita pengikat kertas masih utuh melekat pada puisi itu.
“ Aiiih….tega nian kau kawan!”


“Kawan! CINTA bukan hanya milik mereka.”
Jakarta, 2010



Indonesia (puisi)



Indonesia…
Bukankah kawan pernah dengar ceritanya
Lucu memang…
Bambu runcing mengalahkan meriam
Indonesia…
Bukankah kawan masih ingat kisahnya
Dentuman senapan bak petasan Ramadhan

Indonesia…
Kata orang…
Lautnya kolam susu
Batu kayu jadi tanaman
Dirampas kaum lanun dan penyamun
Dinodai penjilat dan pencuri

Mengenangmu para pejuang
Dalam nada dan deretan kata
Kami bernujum dengan tasbih
Mohon Sang Khalik menyayangimu

Untukmu para pejuang
Yang menghapus duka dan air mata pertiwi
Asa kalahkan ragamu
Demi tanah air tercinta

Bersamamu para pejuang
Kami baktikan diri
Dalam sukacita kebebasan
Untuk masa depan negeri
MERDEKA!!!


Pesan:
Negara kita yang kaya telah dirampas penjajah dan para pejabat korup. Tak ada lagi kolam susu, yang ada adalah ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan. Pada hal para pejuang telah memberikan diri hingga tetes darah penghabisan. Berantas korupsi dan ketidakadilan!!!
17 Agustus 2011

"Gadis Nazareth" (cerpen)


               By. Gusty P.

            Hari ini aku kesal sekali. Kinoy tak bisa lagi membantuku mencegah singa peyot menerkam seekor anak domba beumur dua bulanan. Ia tak lagi sigap sejak tiga minggu lalu kaki belakangnya hampir raib ditelan singa tua di padang. Kini ia hanya bisa menggonggong. Rupanya kejadian itu membuat naluri pemberaninya ciut. Aku menunggangi Kaf, keledai dungu yang sulit sekali diajar. Bersamanya aku berputar mengelilingi kawanan kambing-domba milik orang tuaku. Sesekali aku melongok ke atas untuk mengamat-amati walaupun sabana-nya tak terlalu tinggi.
            “Seharusnya aku menunggangi kuda, bukan  keledai tengik ini” umpatku dalam hati.
Abba pasti memarahiku lagi. Ia tak akan menyalahkan Kinoy atau Kaf. Dimatanya seorang gembalalah yang seharusnya bertaruh nyawa untuk hewan gembalaannya. Aku memang pandai memanah dan melawan binatang buas jenis apapun bila harus melawan. Namun kambing-domba yang berjumlah ratusan dengan wilayah berbukit-bukit membuat para mangsa selalu berpesta mencuri gembalaanku. Apalagi mereka pandai mengatur siasat. Mereka memang ditakdirkan sebagai pemangsa. Lihat saja, anak domba itu baru kutemukan jejaknya di bawah pohon kurma. Itupun hanya kepalanya saja. Besok pagi sisanya pasti direbutkan burung nazar dan hewan lain yang kalah jauh jumlahnya dari keluarga para singa itu.
            Hari hampir gelap. Dari kejauhan nampak awan hitam menggumpal di sekitar pegunungan Karmel seperti payung tak berbentuk. Awan-awan itu selalu menggantung, menyimpan uap-uap air dari Laut Tengah dan menurunkan hujan yang membasahi wilayah sekitarnya. Aku berusaha menggiring gembalaanku menuju kandang tanpa atap yang sudah ada sebelum aku dilahirkan. Roti beragi, sisa bekal makan siang sengaja kutinggalkan di atas bukit untuk jamuan hewan-hewan malam dan burung-burung pemakan biji di esok hari.
            “Bagaimana gembalaanmu hari ini?” tanya Abba. Kalimat ini selalu menjadi menu pembuka setiap kali aku pulang dari penggembalaan. Ia tidak pernah menanyakan keadaanku, kesehatanku, hidupku, masa depanku, mimpi-mimpiku. Baginya anak penggembala tak punya mimpi.       
“Domba jantan yang berumur dua bulan, yang lahir di bukit sebelah itu diterkam singa” jawabku singkat dan jelas.
            “Zebod!!!” ia berteriak dan menghentakku dengan memanggil nama ejekan yang biasa dipanggil teman-temanku. Namaku sebenarnya adalah Zebedeus.
            “Gembala macam apa kau ini? Tiap minggu kita selalu kehilangan domba dan kambing. Minggu lalu dua ekor, bulan lalu lima ekor, sekarang satu ekor, bisa jadi akhirnya kita tak punya peliharaan lagi” ia mulai naik pitam. Kumis tebalnya naik-turun sambil mulutnya berceloteh mengumpatku. Serentak Kinoy meringis seperti kedinginan karena hujan. Sesekali ia menoleh kepadaku memberi isyarat. Aku tahu maksudnya. Ia mencoba membelaku dan berusaha memberi penjelasan bahwa ini murni kesalahannya. Aku mengangguk sambil mengusap kepalanya.
            “Terima kasih kawan” aku memeluknya. Ia balas menggongong sambil mengibaskan ekornya.
            “Besok, adikmu, Alfena, akan menggantikanmu menggembalakan kambing-domba di padang. Sedangkan kau akan ke pasar menjual beberapa ekor untuk kebutuhan kita bulan ini.  Apalagi musim paceklik semakin dekat. Jangan lupa bawa serta keledai dungumu itu untuk mengangkut gandum”. Sepertinya Abba mulai kesal denganku.  Sebagai anak sulung dalam keluarga, seharusnya memang bisa menggantikan posisi orang tua serta memberi teladan yang baik kepada adik-adik. Tetapi kejadian akhir-akhir ini yang selalu menimpa keluarga kami. Mulai dari kepergian Rhyam, ibu tercinta, petugas sinagoga yang selalu menagih persepuluhan, sampai pada ejekan para tetangga sebagai orang asing di  Nazareth membuat Abba pening.

*****
            Di pasar, para penjual tampak hiruk-pikuk menjajal barang dagangannya. Penjual kain berseleweran dimana-mana. Mereka kebanyakan berasal dari daerah Arabia. Para pemuja seni asal Yunani tak ketinggalan berteriak menawarkan patung-patung hasil pahatannya. Di sudut lain, seorang pengemis buta terus menanti recehan dari setiap orang yang lewat meninggalkan pasar. Di tengah keramaian sangat jelas kelihatan dua orang berjubah panjang melintas.  Mereka adalah imam, pemimpin sinagoga terdekat. Pasar hewan berada di bagian paling belakang. Aku bersama Kaf, menggiring domba menuju tempat itu. Setelah terjual aku mampir untuk membeli gandum dan dudukan kitab taurat pesanan Abba. Joseph adalah penjual perabot rumah tangga itu. Ia dikenal sebagai seorang tukang kayu yang sederhana dan murah hati. Sesekali ia ke pasar untuk menjual hasil karya tangannya. Tak jauh dari situ, seorang gadis remaja yang jelita sedang menata barang belanjaannya. Sepetinya ia baru saja membeli sayur-mayur dan buah anggur. Umurnya kira-kira delapan belasan tahun, tiga tahun lebih mudah dariku. Ia mengangguk-memberiku hormat sambil tersenyum. Aku balik tersenyum.
            Tengah hari aku meninggalkan pasar. Kaf terlihat lelah menarik gerobak gandum. Jalannya pelan terseok-seok. Kadang ia mendengus memintaku beristirahat. Kemudian aku meniggalkannya sebentar untuk mencari minum. Di pinggir kampung Nazaret terdapat sebuah sumur tua, tempat dimana para penghuninya mengambil air. Seorang perempuan muda sedang menimba air sementara seorang wanita tua dan anak kecil menadahkan buyung untuk mengisi air. Sesekali mereka bercengkerama dan meledak tertawa. Aku mendekati sumur itu dan meminta air. Perempuan muda itu memberiku air dari sebuah buyung kecil miliknya.
            “Terima kasih” ucapku penuh rasa lega.
Ia menoleh, mengangguk dan memberiku hormat sambil tersenyum. Aku kaget, karena perempuan muda itu adalah gadis remaja jelita yang kutemui di pasar. Ia kembali mengangguk, memberiku hormat sambil tersenyum dan meninggalkan sebuah buyung kecil berisi air. Ia tahu Kaf butuh minum. Apalagi perjalananku masih cukup jauh. Aku sempat tertegun, kemudian balas mengangguk dan memberinya hormat. Gadis ini adalah satu-satunya orang yang pernah menghormatiku seperti ini. Sebagai orang asing, apalagi keturunan Babel, keluargaku adalah orang kedua di Nazaret. Lihat saja perlakuan Rohas, anak imam kepala itu, yang selalu memanggilku orang asing. Demikian juga para tetangga yang selalu mengejek kami sebagai keluarga penyembah babon.
            Abba membantuku menurunkan gandum. Belum sempat aku selesai makan, ia sudah mengingatkanku untuk membawa persembahan ke sinagoga esok hari. Sinagoga adalah tempat yang paling tidak kusukai. Bukan karena kami telah dianggap orang asing, bukan pula karena kami tidak mau beribadat ala Yahudi. Tetapi karena kelakuan para imam sinagoga yang sama sekali tak menyenangkan jemaat. Mereka selalu ingin dihormati padahal mereka sendiri tak pernah menunjukan rasa hormat sedikitpun kepada orang lain. Mereka selalu mendapat previlese khusus, selalu ingin duduk di tempat terhormat dalam acara-acara resmi, suka memakai jubah panjang kemanapun mereka pergi agar mudah dikenal orang, memeras persepuluhan sinagoga, dan selalu memilih domba persembahan jemaat yang tambun untuk dirinya sendiri. Bagiku mereka tak lebih dari perampok yang bersembunyi di balik jubah. Makanya aku selalu mencari seribu satu alasan untuk tidak ke sinagoga pada hari sabat. Namun perintah Abba tak bisa dilawan. Pagi itu, dengan berat hati aku meniggalkan rumah menuju sinagoga sambil menggiring dua ekor domba jantan yang tambun. Belum sempat aku masuk ke sinagoga, tampak beberapa anak berkerumun sedang mendengarkan sesuatu. Makin lama makin banyak saja yang berkerumun. Sepertinya mereka terpesona dengan ajaran dan cerita seseorang yang berada di tengah kerumunan itu.
            “Ah…paling Rohas yang suka mencari perhatian” pikirku.
            “Hei!! Tidakkah kamu mau mendengar ajarannya?” teriak seorang anak kepadaku.
Aku mendekati kerumunan itu. Suaranya sayup-sayup ditelan teriakan anak-anak lain yang sedang berlari.  Mataku mencoba menerobos kerumunan itu. Suaranya bukan suara Rohas. Bukan pula suara seorang imam yang kukenal. Bahkan bukan suara seorang laki-laki. Dari ajarannya terdengar sejarah kelam bangsa Israel. Ia juga mengisahkan beberapa bagian penting dari Taurat dan perjuangan bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir.  Kemudian ia menutup ajarannya dengan Taurat Musa. Anak-anak mengangguk—mengerti kemudian dengan lancar menyebutkan sepuluh perintah Allah. Aku kembali tertegun. Aku mengenal wanita muda ini. Dia adalah gadis yang baik hati itu. Ternyata ia tidak hanya baik hati, tetapi juga cerdas dan menguasai sejarah bangsa Israel.
            “Zebedus!!” Ia memanggilku dengan sopan kemudian ia berdiri.
            “Abba adalah orang yang taat beragama. Ia selalu setia mengikuti pangajaran di sinagoga pada hari sabat.  Ia suka menolong dan baik hati. Ia seringkali menceritakan engkau, tentang kehebatan dan kerja kerasmu menggembalakan kambing-domba di padang. Ada apa dengan Abba ? » tanyanya kepadaku.
Aku kaget bukan kepalang. Dari mana ia tahu namaku. Bahkan ia tahu semua tentangku.
            “Abba baik-baik saja” jawabku singkat.
            “Syukurlah kalau begitu. Abba selalu mampir ke rumah selepas beribadat dari sinagoga. Mampirlah kalau kau mau” ia mengangguk memberi hormat sambil tersenyum kemudian meninggalkanku.
***
            Malam itu, aku ceritakan semuanya kepada Abba. Ia setia mendengarkan tanpa sedikitpun menyelaku. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa gerangan gadis yang sangat keibuan itu. Menurutku, gadis itu bukan gadis desa biasa. Ia cantik, cerdas, saleh, rendah hati dan selalu tersenyum menyalami orang, bahkan yang tak dikenalnya sekalipun.
            “Zebedeus!! Kau jangan bilang bahwa kau jatuh hati padanya. Dia tak pantas untukmu. Dia adalah putri terhormat di Nazaret. Orang tuanya sangat saleh dan patuh pada Taurat Musa. Dari mereka aku selalu belajar tentang cinta kasih, menghargai orang asing seperti kita, dan arti Taurat Musa yang sebenarnya. Mereka juga selalu mengajari putrinya tentang kebajikan dan tentang Yahwe yang Maha Kasih. Jadi, sangat jauhlah perbedaanya kau dan dia. Lebih baik kau pikirkan kambing-dombamu itu. Jangan mimpi kau Zebedeus ! » Abba mengingatkanku.
Benar apa yang dikatakan Abba. Seorang gembala tak pernah mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Mereka hanyalah teman sekelompok hewan di padang. Jujur, aku memang kepincut ketika bertemu dengannya di sumur kemarin. Dia yang membuatku merasa nyaman tinggal di kampung ini. Parasnya selalu mempesonakan kedamaian dan kasih sejati. Belum sempat aku bertanya, Abba melanjutkan.
             “Gadis itu adalah Maria. Putri dari Anna dan Yoakim. Ia sudah bertunangan dengan seorang tukang kayu yang bernama Joseph. Jadi, jangan kau pikir dia masih sendiri” jelas Abba kepadaku.
            “Oh..begitu” balasku singkat. Joseph, pria tukang kayu yang hampir 30 tahun itu adalah tunangannya. Selama ini Maria berpacaran dengannya. Sebenarnya, aku mengenal Joseph dengan baik, terutama karena Abba sering membeli perabot rumah tangga karyanya.
            “Joseph memang lebih pantas mendapatkan Maria” pikirku.
            Sebulan kemudian, ketika Kaisar Agustus memerintahkan untuk mengadakan sensus penduduk, aku bertemu Joseph dan Maria sedang mencari tunggangan. Aku melihat Maria sedang mengandung. Mereka juga hendak mendaftarkan diri di Yerusalem. Akhirnya kupinjamkan Kaf, keledai miliku satu-satunya.  Belakangan kutahu bahwa Maria sedang mengandung Immanuel, Yesus Kristus Putra Daud. Aku mendapatkan informasi rahasia ini dari teman-teman gembala di Betlehem yang ikut mendampingi Joseph dan Maria ketika melahirkan Yesus.
            Aku bangga telah bertemu Maria. Wanita berparas elok, cerdas, saleh, sabar, dan rendah hati. Aku telah bertemu ibu seorang raja baru. Bukan hanya aku, tetapi juga Kaf, keledai yang selalu kusebut dungu itu, juga bangga telah memberi Maria tumpangan pulang-pergi ke Yerusalem.
            ”Maria memang pantas menjadi ibu seorang Raja” pikirku.


Kekagumanku pada Maria. Kupersembahkan khusus bagi para legioner dan pengagum Maria.
(cerpen ini sudah diterbitkan di Majalah Rohani “HIDUP”)
Rawa Domba, Januari 2010.

Cinta



Cerita indah yang tak berakhir
Mengalir dari Dia-Sumber Cinta
Menyegarkan mawar-mawar hati yang terkulai
Menyejukan dan mengharumkan nafas yang menyesakan

Cinta-Nya
Memberi kehangatan
Menawan kebencian
Merampas kejamnya kejahatan
Menyeret dengki dan irihati
Membungkam kematian yang menakutkan
Engkaulah Sumber Cinta Sejati
Yesus……..

Tentang kebesaran Cinta Yesus yang tak terkalahkan
Malino, 8 July 2009

Blogger Template by Blogcrowds